Chapter 2.3
Chapter 2.3 Miyagi Memberiku Selembar Uang Lima Ribu Yen Lagi Hari Ini
Liburan musim dingin yang singkat sudah berakhir, dan aku mendapati diriku di kamar Miyagi setelah menghadiri upacara pembukaan.
Alasannya, dia memanggilku.
Aku di sini cuma karena aku udah setuju buat ikutan main-main soal “nuruti perintah”; meskipun, saat ini, aku cuma bermalas-malasan di kasurnya.
Dia udah ngasih aku lima ribu yen begitu aku masuk kamarnya.
Dan sejak itu, aku punya waktu luang sambil nunggu perintahnya. Awalnya, aku gak suka harus nyari-nyari kesibukan buat diriku sendiri, tapi sekarang, aku ngerasa lebih nyaman di sini daripada di sekolah.
Aku udah selesai baca hampir semua buku yang ada di raknya, dan pada titik ini, aku ngerasa cukup nyaman buat melingkar di kasurnya dengan salah satu manga favoritku.
“Sendai-san, kamu ngapain aja selama liburan musim dingin?”
Miyagi, yang lagi senderan di kasur, nanya tanpa ada emosi sedikit pun di suaranya.
“Aku belajar.”
Itu bukan bohong.
Buat persiapan ujian masuk, aku daftar di kursus jangka pendek di sekolah persiapan selama liburan. Sementara itu, di sela-sela belajar, aku nyempetin diri buat ketemu Umina dan yang lain buat makan pancake atau belanja baju bareng, jadi aku lumayan sibuk sepanjang liburan musim dingin.
“Kamu belajar, Miyagi?”
Nilainya gak buruk, tapi aku gak bisa bilang bagus juga. Aku sering diminta buat ngerjain PR-nya buat mata pelajaran yang dia lemah.
“Enggak.”
“Kamu udah selesai semua PR-mu?”
“Udah, tapi aku berharap kamu yang ngerjain buatku.”
“Tapi kan aku gak bisa, karena melanggar perjanjian kita buat ketemu di luar hari sekolah, kan?”
“Iya, aku tahu.”
Setelah menghela napas yang kedengeran kecewa, Miyagi mulai baca manganya, dan percakapan kami berakhir di situ.
Yah, dia sama aku emang gak punya kesamaan apa-apa.
Awalnya, aku coba ngobrol sama dia tentang hal-hal kayak sekolah, drama TV, dan majalah, tapi Miyagi kayaknya gak tertarik sama topik-topik itu. Dia cuma ngangguk-ngangguk aja atau jawab acuh tak acuh, jadi akhirnya, aku nyerah. Nyari topik obrolan yang cocok sama Miyagi itu kayak nyari jarum di tumpukan jerami.
Akhirnya, aku sadar kalau setiap kali kami gak bisa ngelanjutin percakapan, gak ada gunanya nyoba maksa. Dalam beberapa bulan terakhir ini, aku belajar kalau gak apa-apa buat diemin aja kalau gak ada lagi yang perlu diomongin.
Setelah ruangan hening, aku ngelepas blazernya dan ngelemparkannya ke kasur.
Mungkin karena Miyagi sensitif sama dingin, kamarnya selalu panas.
Aku lanjutin ngelonggarin dasiku dan ngelepas kancing pertama di blusku.
Pas aku ngehempas badan ke kasur dan ngambil mangaku, Miyagi manggil aku.
“Sini.”
“Kamu mau ngasih perintah?”
“Ya. Sini duduk.”
Miyagi berdiri dan nunjuk ke tempat yang barusan dia dudukin.
Apa yang bakal terjadi selanjutnya?
Jujur, aku udah tahu jawabannya tanpa dia harus bilang.
Aku turun dari kasur dan duduk di depannya. Lalu, seolah aku gak tahu apa yang bakal datang, aku nanya,
“Kamu mau aku ngapain?”
“Lepas ini.”
Miyagi, yang sekarang duduk di kasur, merintahin sambil naro kakinya di pahaku.
Dia ngomong persis kayak yang aku harapkan.
Sekitar akhir Desember, untuk pertama kalinya, Miyagi ngasih aku perintah yang entah gimana lebih buruk daripada harus baca manga erotis keras-keras. Meskipun, pertemuan kami selanjutnya adalah sebelum liburan musim dingin dimulai, dan dia cuma minta aku beresin rak bukunya. Tapi, kayaknya hari ini, dia mau aku jilat kakinya lagi.
Kakinya, yang kelihatan sehat, ada tepat di depanku. Aku ngelepas kaus kakinya dan ngelus telapaknya—bagian yang biasanya ketutup. Waktu aku ngelus dari telapak kaki sampai ke jari-jari kakinya, aku bisa ngerasain dia sedikit gemetar.
“Jilat.”
Mungkin karena dia gak suka telapak kakinya dielus, Miyagi ngomong dengan suara rendah.
“Oke.”
Aku jawab singkat sambil naruh tanganku di tumitnya.
Aku deketin wajahku dan nempelin lidahku di atas kakinya, yang terasa sedikit dingin.
Aku gak tahu apa yang ada di kepala Miyagi, tapi aku selalu mikir jilat kaki itu genre yang lumayan aneh. Kami mulai dengan bacaan langsung manga erotis dan entah gimana berakhir di jilat kaki. Aku gak akan pernah nyangka Miyagi kayak gini cuma dari apa yang aku lihat di sekolah.
Dia biasa aja, gak menonjol, dan aku bahkan hampir gak inget namanya. Kalau aku gak lupa dompet di hari itu di toko buku, kami mungkin gak akan pernah ngobrol seumur hidup.
Tapi, di sini aku, menjilati kaki cewek kayak dia.
Mungkin itu lembut dan halus, tapi rasanya gak enak sama sekali.
Yah, wajar aja gak enak, mengingat itu kaki manusia. Meskipun begitu, bukan berarti aku benci ini.
Aku ngelus lidahku dari pangkal jari-jari kakinya sampai ke pergelangan kakinya.
Aku lakuin itu pelan-pelan, nikmatin waktuku.
Lalu, aku angkat kepalaku, ngeliat reaksi Miyagi.
Dia kelihatan bener-bener nikmatin.
Pipinya sedikit merah.
Sama kayak terakhir kali.
Setelah aku jilat kakinya, napasnya jadi agak terengah-engah, dan pipinya merona.
Dia mungkin bahkan gak sadar sendiri.
“Lanjutin, Sendai-san.”
Tanpa bales, aku gigit jari-jari kaki Miyagi.
Aku gigit, mastiin cukup keras buat ninggalin bekas gigi.
Seolah dia nolak, Miyagi ngegoyangin kakinya sambil megang kepalaku.
“Berhenti. Itu sakit.”
Aku ngelepasin gigitanku, persis kayak yang disuruh. Aku denger dia ngehembusin napas pelan.
Pertama kali dia minta aku jilat kakinya, aku gigit jari-jari kakinya cuma karena nolak.
Secara teknis, aku gak ngebantah perintahnya.
Tapi tetep aja, waktu dia nyuruh aku jilat kakinya, rasanya kayak dia ngeremehin aku, dan aku gak suka itu.
Makanya aku gigit dia waktu itu.
Tapi kali ini, beda.
Kali ini, aku lakuin karena aku nemuin reaksi Miyagi itu menarik.
Suara seraknya—setiap kali dia bilang sakit atau merintahin aku buat berhenti—bikin suhu tubuhku naik.
Kakinya gemetar sedikit.
Mungkin itu karena dia takut aku gigit lagi.
Ini sisi Miyagi yang aku pengen lihat lagi.
Mungkin karena dia sekarang waspada, aku ngerasain dia tersentak waktu aku naro lidahku di jari-jari kakinya.
Dan kemudian, aku nempelin bibirku di atas kakinya.
Setelah ngasih beberapa ciuman di sana, aku ngerasain dia narik rambutku.
“Sendai-san, udah ah. Jorok.”
Dia natapku tajam.
Tapi tarikannya di rambutku gak terlalu sakit.
“Masa? Bukannya rasanya enak banget?”
“Enggak. Menjijikkan.”
Dia ngelepasin rambutku.
Meskipun Miyagi mengerutkan keningnya, pipinya masih merona.
Aku anehnya suka sama wajahnya.
Bukannya dia luar biasa imut atau gimana, tapi kalau aku harus bilang, kurasa dia bisa masuk kategori imut. Dia mungkin bakal kelihatan lebih cantik kalau dia pakai sedikit riasan, tapi dia kayaknya gak tertarik sama hal-hal kayak gitu, yang menurutku agak sia-sia. Aku gak bakal repot-repot ngasih tahu dia soal itu.
Aku nyium kaki Miyagi sekali lagi.
Napasnya kedengeran normal seingatku, jadi mungkin alasan kenapa pipinya merona sebenarnya karena kamarnya panas. Tapi, ekspresi yang aku lihat di wajah Miyagi beda dari biasanya, yang cukup bikin aku mikir kalau jilat kakinya ternyata gak seburuk itu.
“Jilat yang bener.”
Dia nendang bahuku pelan.
“Woi, gak boleh kasar.”
Meskipun gak sakit, aku naro tanganku di bahu.
“Jilat.”
Miyagi bilang, mengulang kata-katanya.
Aku ngelus bagian atas kakinya dengan lidahku lagi tanpa ngomong apa-apa.
Dia mungkin mikir dia yang ngasih perintah, tapi kenyataannya, semua ini terjadi karena aku yang biarin.
Aku yang ngendaliin situasi ini.
Kalau aku mau, aku bisa ngebantah dia kapan aja.
Aku bisa aja ngakhirin perjanjian kami dan langsung keluar pintu.
Tapi aku di sini karena aku ngerasa lebih nyaman di kamar Miyagi daripada di rumah.
Aku lanjutin ngelus lidahku di sepanjang punggung kakinya yang agak dingin.
Aku nempelin bibirku ke kakinya yang basah dan lengket.
Kaki Miyagi gemetar sedikit.
Kemungkinan besar, waktu kami jadi kelas tiga, bahkan kalau kami beda kelas, Miyagi bakal terus manggil aku dan bayar aku lima ribu yen kayak gini, dan aku bakal terus nerimanya.
Bukan karena uang, sih.
Aku cuma pengen terus ngeliat wajah Miyagi yang puas setiap kali aku nurutin perintahnya dan bikin dia percaya kalau dia punya kekuasaan atas aku. Makanya, aku rela nemenin dia dan ikutan drama konyol ini selama kami masih SMA.
Maksudku, kami mungkin bakal kuliah di universitas yang beda, dan semua ini cuma buat sekarang aja.
Mengingat perjanjian kami ada batas waktunya, aku ngerasa dapet tawaran yang lumayan bagus.
Aku ngelepasin bibirku dari kakinya dan ngeluarin napas pendek.
Lalu, aku benamin gigiku lagi ke pergelangan kaki Miyagi.
Comments for chapter "Chapter 2.3"
MANGA DISCUSSION
(LN) Shuu ni Ichido Classmate wo Kau Hanashi
Seminggu sekali, Miyagi membayar 5.000 yen kepada teman sekelasnya, Sendai. Uang 5.000 yen itu digunakan untuk membeli tiga jam waktu Sendai, yang memberikan Miyagi hak untuk memberi perintah....
- Free
- Free
- Free
- Free
- Free
- Free