Chapter 2.1
Chapter 2.1 Miyagi Memberiku Selembar Uang Lima Ribu Yen Lagi Hari Ini
Rak di depanku dijejali majalah-majalah dengan foto-foto idola dan model di sampulnya. Di antara mereka, aku ambil sebuah majalah yang punya tulisan paling mencolok.
Kurasa ini yang dibilang Umina tadi… mungkin.
Alasan kenapa aku gak yakin banget adalah karena aku cuma setengah dengerin omongannya.
Habis, mau gimana lagi?
Aku natap majalah di tanganku.
Selain pajangan baju-baju yang dicampur-cocokin, ada juga judul-judul dangkal yang iklanin baju-baju yang katanya pasti bikin cewek jadi populer sama cowok-cowok, plus tips-tips lain buat Pengembangan diri.
Jujur, gak ada satu pun yang aku suka.
Aku lebih suka pakai baju yang bener-bener aku mau, dan aku bisa mikirin soal Pengembangan diri nanti. Kalaupun aku mau baca majalah, aku mendingan baca sesuatu yang ringan daripada majalah fashion yang kelihatan dangkal.
Tapi kenyataannya, aku cuma baca majalah kayak gini demi pertemanan, dan aku punya cukup uang saku dari uang bulanan buat nyisain.
Biar punya kehidupan sekolah yang sukses, kamu harus mainin kartu yang pas. Misalnya, di kelasku, mutlak perlu buat deketin Ibaraki Umina. Sebenarnya, aku kira itu agak berlebihan, tapi setidaknya, kamu harus ngajak dia ngobrol dan ikutin aja apa yang dia bilang.
Umina itu temanku yang lumayan mencolok, meskipun otaknya agak kurang, dan dia ada di peringkat atas hierarki sekolah. Dia dikenal gampang marah, jadi kalau kamu berani ngelawan dia, kamu cuma bakal nyari masalah sendiri. Tapi, selama kamu bikin dia senang dan tetap baik sama dia, kamu pada dasarnya dijamin punya kehidupan sekolah yang nyaman di antara peringkat atas.
Makanya, beli majalah ini—sesuatu yang baru dia suka akhir-akhir ini—adalah hal yang menurut orang dewasa, “pengeluaran yang perlu”.
Banyak orang mungkin nyebut aku orang yang suka menyenangkan orang lain (suka cari aman), tapi itu gak masalah buatku, mereka bisa bilang apa pun yang mereka mau. Mereka mungkin cuma bilang gitu karena iri, jadi aku biarin aja.
Karena aku udah jauh-jauh ke toko buku, aku putusin buat ngeliat-ngeliat sebentar. Gak lama, aku akhirnya milih novel yang aku mau dan jalan ke kasir. Gak ada antrean atau apa pun, tapi aku tetap nunggu giliran sebelum bawa buku-bukuku ke konter.
Menurut layar di kasir, totalnya seribu sekian yen.
Aku ngerogoh tasku dan nyari dompetku.
“Hah?”
Dompetku, dompetku…
Dompet yang harusnya ada di sana… gak ada.
Aku inget jelas naro HP-ku ke dalam tas tadi pagi.
Tapi gimana dengan dompetku?
Sebanyak apa pun aku nyari, dia gak ada di sana.
Mungkin aku ninggalinnya di sekolah.
Sebenarnya, enggak deh, kayaknya ada di rumah.
Aku gak inget sama sekali naro dompet itu ke dalam tasku.
Waktu aku ngelirik ibu-ibu yang kerja di konter, aku bisa lihat dia punya tatapan curiga di wajahnya.
Waduh, aku harus ngelakuin sesuatu.
“Ahh, umm…”
Agak malu, tapi aku gak ada pilihan selain balikin buku-buku ini.
“Buku-buku ini—”
“Saya yang bayar.”
“Hah?”
Sebelum aku selesai ngomong, sebuah tangan muncul dari belakangku dan naro selembar uang lima ribu yen di konter.
“Sendai-san, pakai ini.”
Waktu aku balik badan, aku disambut sama pemandangan seorang gadis yang pakai seragam yang sama denganku.
Dan lagi, dia seseorang yang aku kenal.
Bukannya kami pernah ngobrol atau apa, tapi dia wajah yang familiar yang aku lihat setiap hari.
“… Kamu Miyagi, kan?”
Aku lumayan yakin aku bener.
Sebagai suka cari aman sejati, setidaknya, aku berhasil hafal nama belakang semua orang. Yah, aku gak bisa bilang hal yang sama buat nama depan sih.
“Pakai uang itu buat bayar barang-barangmu.”
Tanpa mastiin apa aku bener nyebutin namanya, dia ngulangin buat apa uang lima ribu yen itu.
“Gak usah. Nanti aku gak enak.”
“Gak usah khawatir.”
Enggak, aku bakal khawatir.
Aku gak terlalu suka ide minjem uang dari cewek yang hampir gak aku kenal. Aku gak suka ide dipinjemin uang dari awal, dan aku jelas gak mau ngabisin uang orang lain cuma buat beli majalah yang aku mau cuma buat nyenengin orang lain.
“Enggak, ambil lagi aja.”
Aku ngambil uang lima ribu yen itu dari konter dan ngasih balik ke Miyagi, tapi yang dia lakuin cuma naro itu lagi di konter.
“Umm, boleh saya pakai ini buat nyelesaiin pesananmu?”
Si kasir nanya, jelas kelihatan kebingungan.
“Ya, silakan.”
Miyagi jawab menggantikanku.
Tapi aku beneran gak mau minjem uang dari dia.
Aku coba ngerebut uang lima ribu yen itu lagi, tapi si kasir berhasil duluan karena dia cepet-cepet masukin uang itu ke dalam mesin kasir.
Akhirnya, aku cuma dapet majalah, novel, tiga lembar uang seribu yen, dan beberapa koin.
“Makasih, Miyagi. Kayaknya aku lupa bawa dompet, jadi kamu nolongin aku.”
Aku ngucapin terima kasih begitu kami udah jauh dari kasir.
Meskipun protesku gak digubris tadi, pada akhirnya aku tetap pakai uangnya, jadi aku ngerasa harus nundukin kepala ke dia, meskipun males.
Namun, dia gak bales apa-apa. Setidaknya, karena dia gak ngoreksi, kayaknya namanya beneran “Miyagi”.
“Nih, ambil kembalianmu. Aku bakal bayar apa yang aku pakai besok.”
Aku coba balikin uang yang dikasih kasir tadi, tapi entah kenapa, Miyagi gak mau nerima.
“Kamu gak perlu bayar balik. Kamu bisa ambil kembaliannya juga.”
Setelah ngomong gitu, dia balik badan dan mulai jalan pergi.
“Hah? Tunggu bentar, aku gak enak.”
“Gak apa-apa. Aku beneran gak butuh, jadi kamu bisa ambil, Sendai-san.”
“Aku gak bisa ambil gitu aja dari kamu. Biarin aku balikin.”
“Buang aja kalau gitu.”
“Dibuang?! Ini uang loh!”
Aku nyusul Miyagi, yang jalan lumayan cepet, dan megang bahunya.
Aku gak pernah ngobrol sama Miyagi di sekolah, jadi aku gak pernah sadar kalau dia agak gila, atau bahkan beneran gila. Maksudku, gak ada orang normal yang bakal nyaranin buang uang kayak gini. Dan lagi, kalimat, “Kamu bisa ambil kembaliannya”, itu cuma diucapin eksekutif perusahaan, bukan gadis SMA.
Selain itu, fakta kalau dia ngira aku tipe orang yang bakal, “Oh, iya, makasih!”, buat nerima kembaliannya bener-bener bikin aku kesel.
“Ahh, terserah. Anggap aja aku minjem kembaliannya juga. Aku bakal balikin semuanya besok.”
Jujur, aku beneran udah mulai marah, tapi aku nahan diri.
Kalau rumor aku teriak-teriak ke orang lain mulai nyebar di sekolah, itu cuma bakal ngerusak citraku.
“Gak perlu gitu. Kamu gak perlu bayar balik aku.”
Ngelepasin tanganku dari bahunya, Miyagi mulai jalan pergi lagi.
Dia keluar lewat pintu otomatis.
Ngejar dia, aku manggil dia dari belakang dan bilang:
“Aku bakal bayar kamu. Aku bakal kasih kamu lima ribu yen di sekolah besok.”
“Kalau gitu, gimana kalau kamu kerja buat bayar lima ribu yen itu?”
Jawabannya bener-bener gak terduga dan ngubah arah percakapan. Aku tanpa sadar berhenti di tempat.
“Hah? Kerja?”
“Untuk sementara, jalan bareng aku ke rumahku.”
Miyagi, yang tadinya jalan cepet, berhenti dan balik badan ngeliat aku.
“Hah? Tunggu, tunggu, bentar. Aku kan udah bilang aku bakal bayar balik besok.”
“Kalau kamu gak mau ikut aku, ya udah ambil aja uangnya.”
Miyagi cepet-cepet balik badan.
Dia kenapa sih?
Serius, ada apa sama cewek ini?
Aku mengutuk Miyagi dalam hati.
Aku gak mau nerima lima ribu yen dari dia, tapi aku juga gak mau kerja buat dia.
Tapi kalau begini, Miyagi mau pulang, dan kayaknya dia gak ada niat buat nerima pembayaran dariku. Bahkan kalau aku selipin uang lima ribu yen itu di mejanya, aku yakin itu bakal balik lagi ke aku.
Serius, ribet banget orangnya.
Saat desahan keluar dari mulutku, aku ngeliat ke langit. Awan abu-abu mulai berkumpul. Karena musim hujan udah lewat, aku gak bawa payung. Setelah menghela napas berat lagi, aku denger Miyagi bilang:
“Aku punya beberapa payung di rumah.”
“Ahh, terserahlah. Mana rumahmu? Dekat sini?”
Aku gak mau ada rumor tentang aku minjem uang dari Miyagi mulai nyebar, dan aku jelas gak mau ada rumor aku teriak-teriak ke Miyagi dan maksa dia nerima uang.
Jadi, ya udahlah, aku kerja aja buat Miyagi hari ini.
Dan begitu, aku dengan enggan ngikutin Miyagi.
Comments for chapter "Chapter 2.1"
MANGA DISCUSSION
(LN) Shuu ni Ichido Classmate wo Kau Hanashi
Seminggu sekali, Miyagi membayar 5.000 yen kepada teman sekelasnya, Sendai. Uang 5.000 yen itu digunakan untuk membeli tiga jam waktu Sendai, yang memberikan Miyagi hak untuk memberi perintah....
- Free
- Free
- Free
- Free
- Free
- Free