YuriLabs
  • Home
  • Project
  • All Series
    • Manga
    • Manhwa
    • Manhua
  • Adv. Search
Login Register
Prev
Next
  • Home
  • Project
  • All Series
    • Manga
    • Manhwa
    • Manhua
  • Adv. Search
shuu Ni ichido- LN Vol- 6

(LN) Shuu ni Ichido Classmate wo Kau Hanashi

Chapter 1.3

  1. Home
  2. (LN) Shuu ni Ichido Classmate wo Kau Hanashi
  3. Chapter 1.3
Prev
Next

Chapter 1.3 Sendai-san Berharga Lima Ribu Yen, Tidak Lebih dan Tidak Kurang

“Menggunakan kekerasan itu melanggar kontrak.”

Sendai-san lagi-lagi ngungkit aturan yang kami buat bareng.

Padahal, gak ada alasan buat nganggap ngangkat dagunya pakai kaki itu “kekerasan.” Dan karena aku gak ngelakuin apa-apa yang ngelanggar perjanjian, gak ada alasan juga buat dia negur aku.

“Ini bukan kekerasan.”

“Iya, itu kekerasan. Kamu baru aja nendang aku.”

Dia jawab, terdengar kesal sambil menjentikkan jarinya ke jempol kakiku.

“Aku cuma nyentuh dagumu.”

Kalau dia sampai marah cuma karena hal kayak gitu, aku cuma bisa mikir dia cuma lagi ngambek.

“Hmm…”

Sendai-san bergumam pelan. Pegangannya di pergelangan kakiku makin erat dari sebelumnya.

Dia gak kelihatan yakin.

Dia menatapku tajam.

Merasa sesuatu yang buruk bakal terjadi, aku coba narik kakiku, tapi Sendai-san gak mau lepas. Malah, dia nempelin bibirnya ke atas kakiku dan mulai mengisapnya.

Sensasinya beda banget dari sekadar dielus lidah, dan itu bikin badanku gemetar.

“Berhenti.”

Waktu aku naikin suara, nyuruh dia berhenti lakuin hal yang gak aku perintahkan, omonganku masuk kuping kiri keluar kuping kanan. Sekarang dia megang telapak kakiku, dan gigit jempol kakiku.

“Sakit.”

Giginya nempel erat di jempolku. Rasanya kayak dia mau nembus kulit, meskipun cuma sedikit. Suaraku memenuhi ruangan, tapi itu gak bisa ngilangin rasa sakitnya.

“Sendai-san, aku bilang berhenti!”

Waktu aku lihat ke bawah, aku bisa lihat bentuk pusaran rambutnya.

Sebagai bentuk protes, aku pegang kepala Sendai-san dan menggoyangkannya.

“Ini perintah, jadi berhenti sekarang juga!”

Kata aku, dengan volume suara yang belum pernah aku pakai ke dia sebelumnya. Dia ngelepas giginya dari jempolku, lalu ngusap-ngusap dengan lidahnya, seolah ngecek apa ada bekas gigitan.

Jempol kakiku terasa basah dan lengket.

Kehangatan lidahnya bikin aku merinding.

Seperti yang kupikir, lidah manusia emang menjijikkan. Meskipun begitu, aku sadar aku gak beneran gak suka. Seolah-olah bisa ngusir perasaan itu, aku tarik rambutnya.

“Berhenti.”

Setelah aku ngulangin kata-kata yang sama kayak tadi, akhirnya, Sendai-san ngangkat kepala. Akhirnya bisa ngambil lagi kakiku, aku nariknya ke tempat tidurku yang aman.

“Kasih kakimu. Aku bakal pakaikan ini lagi buatmu.”

Sendai-san bilang dengan senyum puas di wajahnya saat dia ngambil kaus kakiku.

Kenapa sekarang dia yang ngasih aku perintah?

Aku gak ngerasa apa-apa selain gak puas sama situasi ini.

“Gak perlu dipakaikan lagi. Lepas aja yang ini juga.”

Aku bilang, sambil naruh kaki kiriku di pahanya. Dia nurut tanpa bersuara.

“Ada perintah lain?”

“Gak ada.”

Aku jawab singkat sambil berdiri.

“Mau minum sesuatu?”

Aku tanya, ngeliat cangkir di meja kosong. Dia jawab dengan singkat, “Gak usah.”

“Mau makan malam?”

“Aku mau pulang.”

Aku udah tahu dia bakal jawab begitu. Maksudku, aku udah nanya pertanyaan itu berkali-kali, dan setiap kali, jawabannya sama, jadi gak mungkin dia jawab beda kali ini. Lagian, bakal ribet banget kalau dia beneran mau.

Tapi, entah kenapa, untuk pertama kalinya, aku denger dia jawab, “Aku mau makan.”

Masih tanpa alas kaki, aku pakai sandal rumah dan nuntun Sendai-san ke dapur. Aku ngambil dua cup ramen dari tas belanja yang aku beli dari supermarket dan mulai merebus air.

Aku bawa cup ramen ke sisi lain meja bar, tempat Sendai-san duduk, dan menaruhnya di depannya dengan penutup yang udah kebuka. Ngeliat itu, wajah Sendai-san kelihatan bingung.

“Ini apa?”

“Mie instan cup. Gak bisa lihat dari tampilannya? Jangan bilang kamu saking kayanya sampai gak pernah lihat mie instan cup?”

“Kalau aku sekaya itu sampai gak pernah lihat mie instan cup, aku mungkin bakal sekolah di tempat di mana siswanya saling sapa dengan, ‘Salam hormat’, daripada ke sekolah kita, kan?”

Meskipun Sendai-san kedengarannya bingung saat ngomong, aku denger keluarganya cukup berada.

Bukannya dia pamer barang-barang branded atau apa, tapi barang-barang yang dia punya kualitasnya bagus. Dia mungkin juga gak pernah makan ramen buat makan malam sebelumnya. Makan malamnya pasti masakan rumahan.

Sendai-san kayak tipe orang yang dicintai keluarganya.

Kalau bukan karena kami teman sekelas, aku yakin gak bakal ada kesempatan kami bisa ngobrol satu sama lain.

— Aku mulai mual.

Aku menatap ketel listrik yang lagi merebus air buat kami berdua.

“Lagian, aku pernah makan mie instan cup. Oh, tunggu, jangan bilang, keluarga Miyagi gak kaya, ya?”

“Aku dapat uang saku yang cukup buat bayar kamu lima ribu yen sekali, kadang dua kali seminggu. Tapi kalau kamu anggap itu miskin, ya udah aku miskin.”

Meskipun Sendai-san ngomong dengan nada ngeledek, aku kasih dia jawaban singkat.

Meskipun keluargaku tipe yang gak masalah makan ramen buat makan malam, itu bukan karena masalah finansial atau apa. Malah, kalau aku harus bilang, aku pikir kami lebih dari cukup.

“… Aku tebak kamu gak miskin, ya. Jadi, ini doang makan malamnya?”

“Kalau kamu mau bento atau apa, aku bisa pergi beli. Atau kamu mau pulang aja dan makan malam di sana? Aku gak masalah.”

Aku gak punya ibu.

Ditambah lagi, aku gak punya bakat masak.

Itu cuma dua alasan kenapa aku kadang makan mie instan cup buat makan malam.

Meskipun ada ayah tunggal yang bisa masak, kebanyakan dari mereka sibuk banget sama kerjaan, jadi jarang banget bisa pulang sebelum anak-anaknya tidur. Mungkin ayahku ngerasa bersalah karena bikin aku hidup kayak gitu, jadi dia mau nebusnya dengan ngasih aku uang saku yang jelas-jelas terlalu banyak buat anak SMA.

“Aku makan ini aja.”

Sendai-san mainin penutup cup ramen sampai air di ketel listrik selesai mendidih.

Kami tuang airnya sampai batas.

Lalu, kami setel timer tiga menit.

Setelah selesai, kami mulai makan ramen kami.

Mau aku makan mie instan cup sendirian atau sama orang lain, itu gak ngubah fakta kalau mie instan cup rasanya tetap mie instan cup. Tapi entah kenapa, ini terasa jauh lebih baik daripada cuma makan sendirian.

“Makasih makanannya. Udah malam, aku mau pulang.”

“Oke.”

Aku gak punya apa-apa buat diomongin sama Sendai-san.

Kami gak satu grup pertemanan, dan kami juga gak punya kesamaan apa pun.

Karena gak ada yang diomongin, kami berdua makan dalam diam. Karena porsi mie instan cup gak seberapa, kami selesai makan dalam waktu singkat, dan sebelum aku sadar, Sendai-san udah mau pulang.

“Kalau kamu jadi beli volume empat, kasih aku baca ya.”

Sendai-san, yang kembali ke kamarku buat ngambil blazer dan jaketnya, bilang sambil ngelirik rak bukuku.

“Kamu mungkin bisa baca lain kali kamu mampir.”

“Oke, berarti minggu depan ya.”

“Aku gak bakal balik lagi.”

Mengingat apa yang terjadi tadi, aku gak bisa nyalahin dia kalau dia ngomong kayak gitu, tapi kayaknya dia berencana buat datang lagi.

Sendai-san itu orang yang aneh banget.

Padahal dia biasanya rajin banget di sekolah.

Aku coba nahan pikiran-pikiran gak sopan tentang gadis yang ngikutin perintahku itu saat aku ngasih blazer dan jaketnya.

“Aku anterin sampai depan.”

Seperti biasa, kami keluar dari pintu depan bareng dan jalan ke lift. Setelah turun di lantai satu, kami jalan ke pintu masuk.

“Oke, sampai ketemu nanti ya.”

Sendai-san melambaikan tangan tanpa berhenti.

“Dadah.”

Aku manggil dia dari belakang saat dia menjauh.

Aku bertanya-tanya, bahkan saat kami jadi kelas tiga tahun depan dan beda kelas, apa Sendai-san bakal tetap mau disewa sama aku seharga lima ribu yen.

Sambil mikirin itu, aku kembali ke lift.

Comments for chapter "Chapter 1.3"

MANGA DISCUSSION

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

*

Chapter 1.3
Fonts
Text size
AA
Background

(LN) Shuu ni Ichido Classmate wo Kau Hanashi

344 Views 2 Subscribers

Seminggu sekali, Miyagi membayar 5.000 yen kepada teman sekelasnya, Sendai. Uang 5.000 yen itu digunakan untuk membeli tiga jam waktu Sendai, yang memberikan Miyagi hak untuk memberi perintah....

Chapters

  • Free
    Chapter 2.3
  • Free
    Chapter 2.2
  • Free
    Chapter 2.1
  • Free
    Chapter 1.3
  • Free
    Chapter 1.2
  • Free
    Chapter 1.1

Sign in

Lost your password?

← Back to YuriLabs

Sign Up

Register For This Site.

Log in | Lost your password?

← Back to YuriLabs

Lost your password?

Please enter your username or email address. You will receive a link to create a new password via email.

← Back to YuriLabs

Premium Chapter

You are required to login first