YuriLabs
  • Home
  • Project
  • All Series
    • Manga
    • Manhwa
    • Manhua
  • Adv. Search
Login Register
Next
  • Home
  • Project
  • All Series
    • Manga
    • Manhwa
    • Manhua
  • Adv. Search
shuu Ni ichido- LN Vol- 6

(LN) Shuu ni Ichido Classmate wo Kau Hanashi

Chapter 1.1

  1. Home
  2. (LN) Shuu ni Ichido Classmate wo Kau Hanashi
  3. Chapter 1.1
Next

Chapter 1.1 – Sendai-san Berharga Lima Ribu Yen, Tidak Lebih dan Tidak Kurang.

Sebenarnya, gak harus Sendai-san. Bisa saja Ichio-san, atau Gotou-san. Bahkan orang asing pun gak masalah.

Tapi, mungkin takdir yang bikin aku memilih Sendai-san… Ah, andai saja itu benar. Nyatanya, itu cuma kebetulan. Serangkaian kebetulan, ditambah lagi dengan isengnya aku, yang akhirnya membawa Sendai-san ke kamarku.

Seminggu sekali, selama tiga jam.

Aku bayar dia lima ribu yen untuk itu.

Itu semacam perjanjian kami.

Yah, aku bilang perjanjian, tapi gak ada yang benar-benar kaku.

Kadang, aku bayar lima ribu yen cuma buat dua jam, dan kadang-kadang tiga setengah jam. Ada minggu di mana kami cuma ketemu sekali, tapi ada juga yang dua kali. Pada dasarnya, berapa lama kami bareng dan seberapa sering kami ketemu itu fleksibel banget. Satu-satunya yang gak pernah berubah adalah jumlah yang aku bayar tiap kali. Pokoknya, gak peduli durasinya atau seberapa sering kami bertemu, faktanya, aku membeli waktu Sendai-san seharga lima ribu yen.

Sesederhana itu.

“Miyagi, kasih aku kelanjutannya.”

Sendai-san, yang lagi tiduran di kasurku, ngomong sambil nepuk bahuku.

Aku berbalik ke kasur dan lihat dia nepuk-nepuk bahuku pakai volume manga yang baru dia selesai baca.

Udah bulan Desember, dan hari ini kebetulan dingin banget, jadi aku nyalain pemanas ruangan biar gak beku. Tapi, kayaknya itu terlalu panas buat dia, soalnya dia udah ngelepas blazernya. Dia juga melonggarkan dasinya dan bermalas-malasan cuma pakai blus dan rok pendek, yang bikin dia kelihatan berantakan banget. Rasanya, kalau mau, kamu bisa aja ngintip ke dalam roknya.

Di sekolah, Sendai-san dikenal rapi dan sopan, jadi aku yakin kalau ada teman sekelas kami lihat dia kayak gini, mereka pasti langsung ilfil.

“Ambil sendiri sana.”

Kata aku, dengan muka datar, sambil ngedorong balik volume manga—yang berlabel volume tiga—ke arah Sendai-san.

Posisinya di kasta sekolah cuma selangkah di bawah posisi paling atas.

Bahkan kalau Sendai-san ngehapus riasan tipis yang biasa dia pakai, dia mungkin masih akan di level atas-tengah kasta. Saking cantiknya dia. Dia juga lumayan pintar. Kalau aku gak salah ingat, nilainya termasuk yang tertinggi.

Itu mungkin yang bikin dia populer banget dari awal.

—Setidaknya, itu bayanganku. Kenapa aku bilang begitu? Karena aku gak pernah benar-benar melihat popularitasnya secara langsung.

Dia bisa dibilang “normie” yang masuk kasta sekolah atas—meski lebih tepatnya dia ada di ujung bawah dari kasta atas. Ya, pokoknya, dia menonjol di antara teman-teman sekelas kami, jadi gak aneh kalau dia dianggap populer.

“Kamu jahat banget sih. Gak bisa ambilkan aja, ya?”

Tanpa peringatan, Sendai-san ngulurin tangannya dan menjatuhkan volume tiga pas di pahaku.

“Woi, kamu pikir aku ini apa?”

“Orang yang paling dekat sama rak buku.”

“Ambil sendiri aja, deh.”

Kata aku dingin sambil meletakkan volume tiga di bantal.

Mengingat posisiku di kasta sekolah ada di dekat bawah—mungkin kedua dari bawah, kalau aku harus nebak—kalau kami di sekolah sekarang, aku gak bakal berani ngomong ke Sendai-san sesombong ini.

Aku bisa begini karena kami di kamarku.

Karena aku bayar Sendai-san lima ribu yen buat waktunya.

Omong-omong, aku gak tahu kenapa dia setuju buat disewa sama aku semudah itu. Soalnya, ini Sendai-san. Kalau dia mau, aku yakin dia bisa dapat sepuluh ribu atau bahkan dua puluh ribu yen tanpa masalah.

Selama dia pamerin status gadis SMA-nya, dengan wajah cantiknya, dia pasti bisa nemuin orang yang rela bayar segitu banyak buat dia.

Jadi, buat orang kayak aku, yang cuma bisa dibilang biasa aja baik dari penampilan maupun otak, punya kesempatan buat punya Sendai-san buat diriku sendiri kayak gini adalah sesuatu yang biasanya gak akan pernah terjadi. Makanya, aku anggap waktu yang kami habiskan bareng itu sangat berharga.

“Oh, oke deh, baiklah. Kayaknya aku harus ambil sendiri.”

Sendai-san ngedumel sambil bangkit dari kasur dan jalan ke rak buku. Dia duduk di depannya, bergumam pada diri sendiri sambil mulai nyari buku-buku itu.

“Mana volume empat nya?”

Rambut panjangnya ditata setengah diangkat, dengan kepangan membingkai kedua sisi dan dikumpulkan di tengah belakang. Meskipun warna rambutnya lebih ke cokelat daripada hitam, para guru kayaknya gak masalahin, meskipun secara teknis itu ngelanggar aturan sekolah. Kelonggaran ini mungkin karena penampilannya yang rapi dan tatanan rambutnya yang terawat, yang bikin perhatian guru gak fokus buat negur dia. Belum lagi, nilainya yang mengesankan mungkin juga bikin dia gak kena tegur.

Meski begitu, aku merasa gak adil harus hidup di dunia di mana pilih kasih itu diterima.

Aku bangkit terus ngehempasin badan ke kasur.

Bukannya aku mau jadi Sendai-san atau apa, tapi aku harus ngaku, aku sedikit iri sama dia.

Aku hari ini salah ngasih tugas ke guru, dan dia marah ke aku. Aku yakin kalau Sendai-san yang bikin kesalahan yang sama, dia gak bakal dimarahin.

“Tunggu bentar, Miyagi. Volume empat gak ada di sini. Kamu seharusnya bilang dari tadi kalau kamu gak punya.”

Sendai-san—yang menikmati hak istimewa pengalaman SMA yang lebih santai daripada yang lain—ngasih aku tatapan gak suka.

“Ada di sana kok.”

“Gak ada.”

“Pasti ada.”

“Aku bilang, gak ada di sini.”

Dia ngotot, bikin aku mikir-mikir lagi.

Aku ingat jelas tanggal rilis volume empat.

Tapi, aku gak bisa yakin apa aku beneran udah belinya atau belum.

“Aku tahu volume empat mulai dijual minggu lalu, jadi aku bisa bersumpah aku udah belinya. Oh ya, aku lupa, deh.”

Aku bergumam pada diri sendiri sambil bikin catatan mental buat pergi beli besok.

Waktu aku benamin wajahku ke kasur, aku nyium wangi enak yang bukan punyaku, yang agak bikin aku kesel.

“Kamu beneran nyari tanggal rilisnya?”

“Iya, aku nyari.”

“Dasar kutu buku.”

“Diem.”

Aku ngangkat kepala dan lihat ke arah Sendai-san.

Bukannya Sendai-san ngomong sesuatu yang kasar banget. Aku tahu itu cuma candaan, tapi tetep aja, itu cuma bikin aku makin kesel.

Waktu aku lihat ke luar jendela, hari udah mulai gelap. Lampu di apartemen lain juga udah mulai nyala.

Malam semakin dekat.

Aku pergi nutup gorden dan duduk lagi di kasurku.

Hari ini aku lagi gak *mood*.

Kalau ada, aku bakal bilang perasaanku sama gelapnya kayak langit sekarang.

“Sendai-san. Sini duduk.”

Aku manggil Sendai-san, yang masih di dekat rak buku.

“Udah waktunya buat pesananmu?”

“Yup.”

Aku menatap Sendai-san sambil menyilangkan kaki.

Meskipun rok seragamku sedikit lebih panjang dari punya Sendai-san, itu masih dianggap lebih pendek dari yang diizinin aturan sekolah. Beda dari Sendai-san, aku gak punya kaki yang bagus dan ramping buat dipamerin, tapi ya mau gimana lagi.

“Jadi, kamu mau aku ngapain?”

Sendai-san nanya sambil duduk di depanku.

Aku gak menyilangkan kaki lagi dan bilang dengan pelan,

“Lepas ini.”

Aku meletakkan kaki kananku di pahanya dan nunjuk kaus kaki biru tua yang aku pakai.

“Tentu, tentu.”

“Jangan gitu. Cukup bilang ‘tentu’ sekali.”

“Tentu, tentu.”

Seolah dia gak ada niat buat nurutin perintah terakhir itu, dia sengaja jawab “tentu” dua kali sambil ngelepas kaus kaki kanan ku.

“Kaki kiri juga?”

Dia nanya.

“Enggak, biarin aja. Sekarang jilat.”

Waktu aku nyodok perutnya pakai kaki telanjangku, Sendai-san ngasih aku tatapan ragu.

“Maksud kamu, kakimu?”

“Yup.”

Aku udah bayar Sendai-san lima ribu yen buat waktunya sejak musim panas, tapi hari ini pertama kalinya aku kasih dia perintah segede ini. Biasanya, aku cuma minta dia bacain buku atau ngerjain PR-ku atau nyuruh dia lakuin hal-hal sepele lainnya.

Dengan lima ribu yen, Sendai-san akan lakuin apa pun yang aku suruh.

Buat aku, itu bagian paling penting, jadi gak penting apa yang aku suruh dia lakuin. Itu juga kenapa aku gak pernah kasih dia perintah yang “berat”. Tapi hari ini, aku lagi gak *mood* buat nyuruh dia lakuin sesuatu yang gak penting.

Aku mau kasih dia perintah yang gak mau dia lakuin.

Tapi, aku gak nyangka setelah nurutin perintah-perintah sepele sampai sekarang, Sendai-san beneran nurut.

“…… Baiklah.”

Dia gak langsung setuju, tapi di luar dugaanku, Sendai-san tetap menerimanya. Gak ada sedikit pun emosi dalam suaranya saat dia meletakkan tangannya di pergelangan kakiku.

Sendai-san menatap kakiku lekat-lekat.

Aku ngerasain merinding di punggungku.

Napas hangat menyapu bagian atas kakiku saat dia mengangkatnya dengan lembut.

Dan kemudian, aku ngerasain sensasi lembut.

Lidah Sendai-san menyentuh bagian atas kakiku.

Lima ribu yen yang selalu aku bayar di muka buat Sendai-san berfungsi sebagai rantai yang ngikat dia erat ke aku. Dia gak bisa ngebantah.

Itulah sifat dari perjanjian kami di dalam ruangan ini, dan dia dengan efektif menjalankan tugasnya.

Comments for chapter "Chapter 1.1"

MANGA DISCUSSION

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

*

Chapter 1.1
Fonts
Text size
AA
Background

(LN) Shuu ni Ichido Classmate wo Kau Hanashi

341 Views 2 Subscribers

Seminggu sekali, Miyagi membayar 5.000 yen kepada teman sekelasnya, Sendai. Uang 5.000 yen itu digunakan untuk membeli tiga jam waktu Sendai, yang memberikan Miyagi hak untuk memberi perintah....

Chapters

  • Free
    Chapter 2.3
  • Free
    Chapter 2.2
  • Free
    Chapter 2.1
  • Free
    Chapter 1.3
  • Free
    Chapter 1.2
  • Free
    Chapter 1.1

Sign in

Lost your password?

← Back to YuriLabs

Sign Up

Register For This Site.

Log in | Lost your password?

← Back to YuriLabs

Lost your password?

Please enter your username or email address. You will receive a link to create a new password via email.

← Back to YuriLabs

Premium Chapter

You are required to login first