Chapter 10
Sophia terbangun dengan perasaan yang bercampur antara harap dan gelisah. Pesan Nephy semalam—“Aku bakal coba bicara sama mama besok. Doain aku, ya?”—membuatnya tak bisa tidur nyenyak. Ia membayangkan berbagai kemungkinan: Nephy yang pulang dengan senyum lega karena ibunya mendukung, atau Nephy yang datang dengan wajah penuh beban karena penolakan. Keduanya sama-sama membuat jantung Sophia berdegup tak karuan. Saat sarapan, ia hanya memainkan sendok di mangkuk sereal, pikirannya melayang ke taman, ke sketsa Nephy, ke setiap momen kecil yang kini terasa begitu berarti.
Di sekolah, Sophia tiba lebih awal, berharap bisa bertemu Nephy di gerbang seperti biasa. Tapi Nephy tak ada di sana. Ia mencoba menenangkan diri, Mungkin dia telat lagi, pikirnya, tapi perasaan cemas mulai merayap. Di kelas, Nephy akhirnya muncul tepat saat bel berbunyi, tapi wajahnya terlihat lelah, dengan lingkaran samar di bawah matanya. “Pagi, Soph,” sapanya, suaranya pelan, hampir tak bersemangat.
“Pagi, Nephy! Kamu… nggak apa-apa, kan?” tanya Sophia hati-hati, mencoba membaca ekspresi temannya.
Nephy tersenyum tipis, tapi senyum itu tak mencapai matanya. “Aku baik-baik aja. Nanti kita ngobrol pas istirahat, ya?” Ia langsung membuka buku pelajaran, seolah ingin menghindari pembicaraan lebih lanjut. Sophia hanya mengangguk, tapi hatinya dipenuhi tanda tanya.
Selama pelajaran, Sophia sulit fokus. Ia mencuri pandang ke arah Nephy, yang tampak sibuk mencatat tapi sesekali menunduk lama, seolah tenggelam dalam pikirannya sendiri. Saat bel istirahat berbunyi, Sophia berharap bisa bicara, tapi Nephy tiba-tiba berdiri. “Soph, aku ke perpustakaan dulu, mau cari referensi buat pameran seni. Ketemu di kantin nanti, oke?” katanya cepat sebelum berlalu.
Sophia duduk sendirian di kantin, memandang meja kosong di depannya. Lila, teman kelompok mereka, muncul dan duduk di sebelahnya. “Soph, Nephy kenapa, sih? Dia kayak beda sejak kemarin. Kalian berantem?” tanya Lila, nada suaranya penuh rasa ingin tahu.
Sophia menggeleng, mencoba tersenyum. “Nggak, kita nggak berantem. Cuma… dia kayak lagi ada masalah.” Ia tak ingin cerita terlalu banyak, tapi kata-kata Lila membuatnya semakin cemas. Apa Nephy menjauh lagi karena pembicaraan sama ibunya nggak berjalan baik?
Saat Nephy akhirnya muncul di kantin, ia membawa buku seni dan duduk di samping Sophia. “Maaf, tadi lama. Aku nemu ide bagus buat pameran,” katanya, mencoba terdengar ceria. Tapi Sophia bisa melihat ketegangan di bahunya, cara ia memainkan ujung rambutnya dengan gelisah.
“Nephy, kamu udah ngomong sama mama kamu, kan? Gimana?” tanya Sophia pelan, tak tahan lagi dengan ketidakpastian.
Nephy menunduk, napasnya terdengar berat. “Aku… udah coba ngomong tadi malam. Tapi mama Cuma bilang aku masih terlalu muda buat mikirin hal-hal kayak gitu. Dia nggak marah, tapi… kayak nggak ngerti apa yang aku rasain. Aku Cuma bilang aku suka sama seseorang, nggak bilang siapa, tapi dia udah bilang aku harus fokus sekolah dulu.” Ia menatap Sophia, matanya penuh penyesalan. “Aku nggak tahu caranya jelasin ke dia soal kita, Soph. Aku takut bikin dia kecewa.”
Sophia merasa dadanya sesak, tapi ia memaksa diri tersenyum. “Nggak apa-apa, Nephy. Aku bilang kan, aku bakal nunggu. Kita nggak harus buru-buru.” Tapi di dalam hati, ia merasa sedikit retak. Apa kita Cuma bakal stuck di sini?
Sore itu, mereka bekerja sama untuk pameran seni di ruang seni sekolah. Nephy tampak berusaha keras kembali ceria, mengatur sketsa dan lukisan di dinding sementara Sophia membantu memasang dekorasi. Di tengah kesibukan, Nephy tiba-tiba menarik Sophia ke sudut ruangan, jauh dari teman-teman lain. “Soph, aku nggak mau kamu mikir aku nggak serius sama perasaanku. Aku beneran suka kamu. Cuma… aku butuh waktu buat bikin semuanya masuk akal, buat aku dan buat keluargaku. Kamu masih mau nunggu, kan?”
Sophia menatap mata Nephy, yang kini penuh harap sekaligus ketakutan. Ia mengangguk, meraih tangan Nephy sekilas. “Aku mau, Nephy. Tapi… jangan menjauh lagi, ya? Aku takut kamu tiba-tiba hilang.”
Nephy tersenyum, kali ini lebih tulus. “Aku janji nggak akan menjauh. Kita hadapi ini bareng, oke?” Mereka kembali ke pekerjaan mereka, tapi tangan Nephy sempat menyenggol lengan Sophia, sengaja atau tidak, membuat hati Sophia kembali menghangat.
Malam itu, di kamarnya, Sophia memandang sketsa Nephy yang kini dipajang di dinding—gambar dua sosok di bawah pohon beringin. Sebuah pesan masuk dari Nephy: “Soph, makasih udah sabar sama aku. Besok kita bikin pameran seni kita yang terbaik, ya? Dan… aku bakal coba ngomong lagi sama mama. Doain aku lagi, oke? Night.”
Sophia membalas dengan jantung berdegup: “Pasti, Nephy. Aku selalu doain kamu. Night.” Ia tertidur dengan senyum, tapi di sudut hatinya, ada pertanyaan yang menggantung: akankah keluarga Nephy pernah memahami? Dan jika tidak, apakah cinta mereka cukup kuat untuk menghadapi rintangan itu.
Comments for chapter "Chapter 10"
MANGA DISCUSSION
(LN) Langkah Ragu di Bawah Pohon Beringin
Sophia, gadis pemalu yang baru masuk SMA khusus perempuan, bertemu Nephy, yang pesonanya mencuri hatinya. Dari obrolan di kantin hingga proyek seni bersama, persahabatan mereka berkembang menjadi...
- Free
- Free
- Free
- Free
- Free
- Free
- Free
- Free
- Free
- Free